Selasa, 27 Mei 2014

Mana Janjimu Mister?


Hai mister. Ini sudah hari ketiga kamu berada di rumah kan? Iya, jauh-jauh hari kamu bilang kepingin mampir rumah kalau akhir bulan ini jadi mudik. Aku hanya mengiyakan sekenanya. Berusaha seelegan mungkin menanggapi keinginanmu. Padahal tanpa kau tau dalam hati aku girang bukan main. Dan aku tak sabar menunggu hari kedatanganmu tiba.

Tapi, ini sudah hari ketiga kau mudik, waktumu di kotaku juga semakin berkurang. Tapi kau tak juga kunjung menghubungiku, apalagi berkeinginan untuk menemui ku sesuai janjimu. Aku juga tak kuasa untuk menghubungimu duluan, menanyakan kapan kau akan menemuiku, atau sekedar basa-basi mana oleh-oleh mu buatku? Aku sama sekali tak punya cukup keberanian untuk melakukannya. Aku lebih memilih diam, membiarkanmu tersadar oleh ucapanmu sendiri. Aku lebih memilih membiarkanmu menikmati waktumu bersama keluarga yang memang hanya setahun sekali bisa kau nikmati. Aku berusaha bersikap dewasa untuk mengerti kamu dan tidak berusaha menuntutmu.

Tapi batin ini berteriak, menolak untuk berdiam diri. Hati ini berontak, aku merindukanmu mister. Rasanya percuma saja kau berada 1 kota denganku kalau kenyataannya kita tetap tak dapat bertemu, sekedar melepas rindu. Percuma saja kita berada di waktu yang sama dan hanya terpisah belasan kilometer kalau kenyataannya aku tak pernah bisa memilikimu. Bahkan sekedar memeluk senyummu saja aku tidak diizinkan. Aku seperti baik-baik saja. Aku menjalankan aktivitasku dengan senormal mungkin. Bekerja, memberi les tambahan buat adik-adik kecil, atau menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabatku, dan menutup hariku dengan keluargaku. Tak ada yang tau, aku berusaha menyibukkan diriku agar aku tak sempat dan tak memiliki waktu untuk mengingatmu apalagi memikirkanmu.

Namun, dengan usaha ku, kadang aku merasa percuma. Buktinya aku masih sempat mengingat bayangmu, bahkan di setiap detik di sela-sela kegiatanku. Bahkan setiap menit aku mengecek hapeku, berharap ada pesan darimu yang tiba-tiba sudah di depan rumahku. Apakah keinginan ku ini terlalu berlebihan dan sulit dikabulkan? Aku hanya ingin bertemu denganmu lagi. Aku ingin membuktikan bahwa kamu memang nyata adanya di dunia ini, bukan hanya menari-nari dalam alam bawah sadarku. Atau setidaknya berikan kabar buatku kau sedang apa dengan keluarga kecilmu. Beri tau aku jika kamu memang tak sempat mampir menemui aku walau sekejap mata. Jangan lagi menggantung harapan yang tak pernah pasti.

Jujur aku lelah. Membiarkanmu bahagia dengan orang lain aku rasa sudah lebih dari cukup dan memang sudah sepantasnya aku lakukan. Tapi mengertilah sedikit, aku tak minta macam-macam agar kau juga mempedulikan aku, aku tidak memintamu membalas kasih sayangku, aku juga tak pernah menginginkanmu merasakan sakit yang sama seperti yang kurasakan. Aku hanya ingin kau menepati ucapan yang keluar dari mulutmu sendiri.

Kalau seandainya minggu yang sudah kunanti-nantikan selama hampir sebulan ini, minggu yang aku impikan akan menjadi awal kebahagiaanku, ternyata terlewat begitu saja. Ternyata mengalir begitu saja seperti tidak ada apa-apa, berlalu seperti hari-hari lainnya, aku tak akan marah atau benci padamu karena kamu mangkir dari janjimu sendiri. Aku hanya kecewa sosok yang aku fikir bertanggung jawab sepertimu, tidak bertanggung jawab dengan mulutmu sendiri.

Aku tidak akan menyesal jika ternyata Tuhan memang tidak mengizinkan kita bertemu, mudah-mudahan itu pertanda jika aku harus benar-benar menetralkan perasaaanku. Dan mungkin itu jalan Tuhan agar aku tak terlalu larut kembali dengan rasa sakitku. Walaupun sebenarnya aku tidak setuju dengan pendapat itu. Jangan menjadikan Takdir sebagai alasan mu untuk tidak mempedulikanku, untuk tidak menemuiku. Itu pribadi mu sendiri. Tidak ada campur tangan Tuhan dalam tujuanmu untuk menyakiti orang, karena Tuhan pasti memberikan yang terbaik untuk hambanya. Aku percaya kau sudah berusaha menjadi yang terbaik. Terima kasih kamu membiarkan aku terus mencintaimu :)

Tidak ada komentar: